Mengantarkan anak negeri mengukir prestasi...

Selasa, 15 Juni 2010

UPACARA PELEPASAN KELAS XII 2009/2010

Hari Senin tanggal 14 Juni yang lalu diadakan upacara pelepasan siswa kelas XII tahun ini. Paserta upacara kali ini lengkap, ada kelas X, kelas XI dan XII. Pengumuman pelaksanaan upacara telah diberikan pada hari Jum'at, waktu siswa kelas X dan XI melaksanakan UUKK. Diumumkan bahwa hari senin siswa masuk seperti biasa untuk mengikuti upacara pelepasan kelas XII. Maka hari senin sesuai jadwal seluruh peserta upacara telah siap.

Kompi guru dan karyawan bertambah satu, yaitu beliau Bapak Wakil Dewan Komite SMAN Kerjo yang mewakili Bapak Aris sebagai Ketua Komite yang berhalangan hadir.

Kompi X telah siap, kompi XI dan kompi XII juga telah siap.

Petugas upacara terdiri dari :
Bapak Kepala Sekolah sebagai Pembina Upacara
Bapak Wakil Dewan Komite sebagai wakil orangtua yang menerima kembali siswa kelas XII
Bapak Warsito sebagai Ketua Pelaksana UAN/UAS yang melaporkan hasilnya
Nurul (XI IPA) sebagai pembaca tanggapan perpisahan mewakili kelas XI dan XI
Roy Sugeng Riyadhi (XII IPA) sebagai pembaca perpisahan mewakili kelas XI
Fitriya Ayu (XII IPA) sebagai petugas yang menyerahkan bingkisan dari kelas XII kepada sekolah
Paksi MEi Penggalih dan Yuniardi (XII IPA) sebagai wakil siswa XII yang dilepaskan
Kunfayanatari (XI IPA) sebagai pembawa acara
Bapak Sidiq sebagai pembaca doa
Ismanto sebagai Pemimpin upacara
Nungky Suryo (Ketua OSIS) sebagai petugas yang melaporkan kesiapan upacara kepada pembina upacara
Serta 2 petugas yang membawa hadiah untuk siswa berprestasi terbaik dalam UAN/UAS.

Upacara dimulai dengan masuknya pemimpin upacara menyiapkan barisan.
Kemudian Pembina Upacara memasuki lapangan upacara, yang sebelumnya telah dijemput oleh Nungky Suryo. Cara jalan Ketua OSIS kita ini agak lucu, sehingga banyak peserta upacara yang tersenyum. Aku pernah mendengar bahwa cara jalan tegap dalam berbaris memang agak seperti itu, tetapi tidak terlalu kaku. Semoga bisa diperbaiki.
Setelah bapak kepala menempati podium pembina upacara, maka acara selanjutnya adalah penghormatan kepada sang saka.
Upacara kali ini sang saka tidak dinaikkan petugas pengibar bendera, akan tetapi sudah siap dan berkibar untuk diberi penghormatan.
Acara dilanjutkan dengan laporan Ketua Panitia Pelaksana UAN/UAS tahun ini. Bapak Warsito,S.Pd melaporkan bahwa UAN/UAS telah terlaksana dengan baik, terdapat 7 siswa IPA dan 41 siswa IPS yang mengulang dan terpaksa masih ada 1 siswa IPS yang belum berhasil lulus tahun ini.
Siswa berprestasi terbaik IPA adalah :
1. Paksi Mei Penggalih
2. Dewi Kurniawati
3. Resmininhsih
Sedang siswa berprestasi terbaik IPS adalah :
1. Purwo Wibowo
2. Rarash Panji Prastiko, dan
3. Nasirudin
Setelah Bapak Warsito melaporkan hasil UAN/UAS acara selanjutnya adalah Pelepasan siswa kelas XII secara simbolis oleh Bapak Kepala Sekolah. Siswa kelas XII diwakili oleh Yuniardi Dwi Saputro dan Paksi Mei Penggalih. Pelepasan badge dan Lokasi yang selama ini menghias seragam mereka dilakukan sebagai simbol pelepasan atas kelulusan mereka. Mereka diserahkan kembali kepada orangtua murid yang diwakili bapak Wakil Ketua Komite.
Acara kemudian dilanjutka dengan sambutan dari Bapak Kepala Sekolah. Beliau mengucapkan selamat atas keberhasilan dan kelulusan siswa kelas XII. Semoga bisa menjadi bekal untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Akan tetapi Beliau juga bertanya langung, kira-kira yag akan melanjutkan berapa? Terlihat ada sepuluhan anak yang mengacungkan jarinya, ya semoga tidak hanya itu.. Beliau berharap semua melanjutkan ke jenjang pedidikan tinggi, dan bila telah berkliah harap memberi informasi ke SMANKerjo, untuk bisa menjadi informasi bagi sekolah, bagi lingkungan juga untuk adik kelas. Kepada kelas X dan XI beliau berpesan untuk lebih giat belajar dan mempersiapkan segala sesuatu, karena semakin tahun aturan kelulusan semakin ketat, semakin sulit.
Kemudian acara dilanjutkan dengan Pamitan oleh wakil kelas XII, diwakili oleh mas Roy Sugeng Riyadi. Dengan lancar dan khidmat mas Roy menyampaikan kata pamitan.
Kata pamitannya kemudian dijawab dengan ucapan selamat jalan oleh wakil kelas X dan XI yang diwakili oleh Nurul. Dilaksanakan dengan baik dan khidmat pula.
Kemudian dilakukan pemberian penghargaan kepada siswa-siswi berprestasi terbaik. Hadiah untuk siswa berprestasi IPA disampaikan oleh Bapak Kepala Sekolah dan untuk siswa berprestasi IPS oleh Bapak Wakil Ketua Komite, yang kemudian memberikan sambutannya.
Bapak Wakil Ketua Komite menmpaikan selamat kepada putra-putrinya yang telah lulus, kemudian menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh Guru dan karyawan yang telah memberan pendidikan dan layanan selama siswa di SMANKerjo. Bapak Wakil Ketua Komite juga mengarapkan siswa-siswi ang berhasil lulus untuk bisa melanjutkan ke janjang pendidikan yang lebih tinggi. Beliau juga meyampaikan satu kekecewaan bila ada siswa-siswi dengan seragam SMA yang naik sepeda motor berdua-duaan, semoga saja bukan siswa SMANKerjo.
Acara upacara kemudian diakhiri dengan penghormatan umum. Semoga hasil kelulusan tahun ini bisa menjadi cataan prestasi bagi SMANKerjo, bisa menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak, bisa menjadi tolok ukur untuk langkah selanjutnya, semoga ditahun yang akan datang bisa lebih baik dan meningkat. Amin.

Rabu, 09 Juni 2010

UPACARA HARKITNAS SMAN KERJO

Hari Senin minggu ke-3 Mei ini kami tidak mengadakan upacara bendera seperti biasa, karena Kamis besok akan ada upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Pengumuman untuk persiapannya telah ditulis sejak tanggal 14 Mei yang lalu.
Upacara kali ini benar-benar spesial.
Upacara dilaksanakan di lapangan upacara SMA.
Sejak awal, peserta upacara mulai bergerak pada jam 7.00, sehingga 7.15 upacara sudah dimulai. Semoga ketepatan waktu ini tetapt erjaga sebagaimana harapan Bapak Kepala Sekolah dan harapan kita semua.
Upacara diikuti oleh segenap warga sekolah, kecuali siswa. Kelas XII karena setelah menyelesaikan ujian akhir nasional, mereka tinggal menunggu hasil pengumuman.
Karena hari Kamis, maka siswa mengenakan seragam putih-putih, sedangkan para guru dan karyawan mengenakan seragam Korpri. Tampak terlihat ada yang beda di lapangan, di sana ada gambar-gambar pahlawan kebangkitan nasional, juga ada papan nama kelas masing-masing yang mempermudah peserta upacara menempatkan diri dan tidak saling menunggu, sehingga upacara cepat siap dan segera bisa dimulai.
Petugas upacaranya kelas X. Dengan petugas paduan suara kelas X3.
Upacara diawali dengan masuknya pemimpin kompi satu dan kompi dua. Bapak Kepala Sekolah selalu memberikan tips, bila sejak pemimpin kompi memasuki barisan itu sudah tertib, maka dapat menjadi awal yang baik akan jalannya upacara hari itu, tetapi bila dari awal ini sudah tidak serius, maka selanjutnya juga akan terpengaruh. Saat itu Septian Agung dan Anas Solihin dengan sigap, siap dan tenangnya pemimpin memasuki kompi masing-masing, sehingga suasana upacara segera menyesuaikan ketenangan mereka.
Lebih kuat lagi suasana khidmat pada upacara kali ini dengan masuknya Triyono sebagai pemimpin upacara yang bersuara lantang dan tegas, juga tidak melakukan kesalahan ucap. Sehingga sampai tahapan itu, upacara tetap khidmat.
Penghormatan dan laporan kepada pembina upacara berjalan lancar.
Dilanjutkan dengan pengibaran sang saka merah putih. Ada Anggun Mujiningrum Primaresti di sebelah kanan, Siti Nur Khasanah sebagai pembawa sang saka dan Ajeng Dian Pertiwi di sebelah kiri. Mereka membawa sang saka dengan sigap, walau agak sedikit lambat.
Pengibaran sang saka selalu mendebarkan.
Ketika itu sang saka juga terlambat sampai di puncak sesuai waktunya. Sehingga kembali harus dievaluasi.
Kemudian acara silanjutkan dengan pembacaan teks pancasila.
Bila minggu itu ada yang berhasil meraih suatu berprestasi, maka akan diberikan penghargaan dalam upacara bendera. Yang spesial pada penghargaan kali ini adalah saat diswa yang memenangkan lomba menerima hadiah, maka guru mata pelajarannya ikut mendampingi.
Sungguh hebat. Motivasi yang tinggi untuk bisa berbuat yang sama...
Kali ini Andi Setiawan sebagai pemenang olimpiade sain di bidang ekonomi didampingi ibu Marheni DS, Anwar Danu Saputro sebagai pemenang lomba Karya Kartun didampingi ibu Retno Wiyani dan ibu Lazizah mendampingi putra-putrinya yang memenangkan lomba Perkemahan Pramuka, penerima penghargaannya diwakili Mawar dan Arif Suhendar.
Setelah itu acara dilanjutkan dengan amanat dari pembina upacara. Amanat diawali applaus untuk yang berprestasi kemudian evaluasi jalannya upacara, dirangkai dengan kajian nilai-nilai perjuangan oleh pejuang-pejuang kebangkitan nasional yang diawali pada tahun 1908, juga dicanangkan yel-yel SMA UNGGUL oleh beliau bapak Kepala Sekolah, dengan teriakan yang disertai acungan kepalan tangan. Sunguh bersemangat dan menggugah.
Upacara berlanjut dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan oleh regu koor. Mungkin akan lebih hebat bila lagu-lagunya dinyanyikan bersama-sama oleh semua peserta upacara seperti pada saat upacara hari guru beberapa waktu silam.
Kemudian pembacaan Undang-undang dasar oleh Siti Halimah juga jelas dan lancar. Upacara diakhiri dengan doa yang melengkapi kekhidmatan seluruh rangkian upacara peringatan ini.
Laporan dari pemimpin upacara bahwa upacara selesai dan berkenannya pembina upacara meninggalkan lapangan upacara menandai berakhirnya upacara.
Semoga dengan upacara peringatan yang khidmat ini benar-benar menjadi gambaran telah bangkitnya kesadaran kita untuk menjadi lebih baik dan semakin baik. Amin.

PERINGATAN HARDIKNAS KECAMATAN KERJO

Tanggal 2 Mei 2010 yang lalu Hari Pendidkan Nasional tetap diperingati dengan khidmat oleh segenap warga pendidikan di wilayah Kecamatan Kerjo.
Walaupun pelaksanaannya bertepatan dengan hari Ahad, akan tetapi semangat dan jiwa akan pentingnya pendidikan, kebutuhan kita akan pendidikan serta manfaat yang telah kita peroleh dengan adanya pendidikan telah menggerakkan hati dan langkah kita menuju lapangan upacara untuk mengikuti upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional ini.
Seperti biasa kami mengadakan upacara bendera di lapangan kecamatan yang terletak di sebelah SMP Negeri 1 Kerjo.Upacara diikuti oleh segenap warga, dari aparat pemerintah kecamatan, kepolisian, perangkat desa, warga sekolah, dari siswa SD, SMP dan SMA, serta guru dan karyawan mulai dari Playgroup, TK/BA, SD, SMP dan SMA.SMAN Kerjo mengirimkan peserta upacara dari siswa kelas X dan kelas XI yang berjumlah tak kurang dari 450 siswa. Kelas XII tidak ikut serta dalam upacara karena siswa kelas XII telah menyelesaikan ujian akhir nasional.
Siswa mengenakan seragam putih abu-abu, sedangkan para guru dan karyawan mengenakan seragam Korpri. Kami berangkat dari sekolah sekitar pukul 8.00. Siswa langsung memasuki lapangan upacara dan menempatkan diri. Akan tetapi karena ada beberapa kelompok peserta upacara yang belum menempatkan diri, maka mereka banyak yang keluar barisan dan berteduh.
Upacara diawali dengan pertunjukan Drum Band dari SDN Ganten dan SDN Kuto 5. Cukup atraktif dan menarik. Tetapi peserta upacara banyak yang belum menempatkan diri.
Ketika upacara akan dimulai peserta upacara segera berbaris dengan rapi. Selama ini peserta upacara yang paling akhir berbaris justru dari peserta upacara yang berseragam Korpri. Bahkan ketika komandan kompi telah memasuki lapangan, pembawa acara masih harus mengingatkan beberapa pemakai Korpri untuk tidak berteduh. Karena anak didiknya telah siap mengikuti upacara tetapi mengapa bapak/ibunya belum siap? Hingga diulang 2 kali masih saja ada yang berteduh, sehingga upacara dimulai dalam keadaan yang belum tertib benar. Semoga tidak terulang.
Komandan kompi mengawali memasuki lapangan dan memimpin kompinya masing-masing. Berikutnya komandan upacara juga memasuki lapangan, dilanjutkan acara seremonial biasa, tetapi laporan kepada pemimpin upacara hanya dilakukan dari tempat masing-masing. Bapak Camat menjadi pemimpin upacara. Berikutnya tiba pada saat pengibaran sang saka merah putih. Sang saka dikawal oleh paskibra (pasukan pengibar bendera) yang cantik dan gagah. Mereka adalah siswa-siswi SMA Negeri Kerjo. SMA Negeri Kerjo yang merupakan satu-satunya sekolah menengah atas di kecamatan Kerjo selalu mendapat tugas untuk mengirimkan paskibra. Bila upacara peringatan hari kemerdekaan paskibranya berjumlah 17-8-45, tetapi untuk selain itu, paskibra berjumlah lebih sedikit. Seperti pada peringatan Hardiknas ini pasukan hanya terdiri dari 9 siswa-siswi.
Siswa-siswi SMAN Kerjo dengan siap dan sigap melaksanakan tugasnya sebagai Paskibra. Bila dihitung dengan lagu kebangsaan yang dilagukan dengan birama yang sesuai, maka apa yang mereka laksanakan tepat sekali. Akan tetapi pengiring lagunya saat itu terlalu cepat, sehingga ketika lagu selesai dinyanyikan, bendera belum sampai di puncak tiang.
Perlu evaluasi agar pelaksanaan yang akan datang menjadi lebih baik. Mungkin karena pengiring lagunya baru, tidak seperti yang biasa mengiringi, sehingga adabtasinya belum sempurna, atau paskibranya juga perlu persiapan lebih, misalnya harus berfungsinya salah satu petugas yang mengamati bendera, agar bisa tiba di puncak tiang tepat pada waktunya. Yaitu ketika baris terakhir lagu mulai terdengar, bendera sudah harus di puncak tiang, seperti yang selalu bapak Kepala Sekolah kita
Hal teknis juga mengganggu pelaksanaan kegiatan menyanyikan lagu-lagu perjuangan/pahlawan. Karena pengeras suaranya agak terganggu dan alangkah baiknya bila diiringi dengan keyboard atau alat musik, sehingga lebih bersemangat.
Semoga sedikit kekurangan itu tidak menghalangi meresapnya nilai-nilai pendidikan yang diamanatkan pembina upacara di dalam hari kita, semoga menjadi motivasi kita dalam memperbaiki pendidikan nasional, memperbaiki sistem dalam mendidik peserta didik, memperbaiki pola belajar serta mampu meningkatkan derajat bangsa dalam bidang pendidikan. Amin.
Viva pendidikan!

Senin, 07 Juni 2010

Review Hardiknas

SELAMANYA, GURU ADALAH PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.
Aku seorang guru, bapak ibuku juga. Saudaraku juga guru. Ada cerita menarik tentang 3 generasi guru di keluargaku yang bisa menjadi miniatur untuk menggambarkan betapa selamanya guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa
Ini cerita bapakku tentang pendidikan dan perjuangannya hingga menjadi guru
Aku lahir pada 6 April 1937 dari pasangan Saridjo Martorejo dan Jainem dengan nama Sewoko di Watusomo sebuah desa kecil pinggir Hutan Donoloyo, hutan yang berada di ujung selatan Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Kedua orang tuaku asli dari Bulutimun desa Tunggur, Slogohimo. Ketika bapak menikahi simbok, usia bapak sekitar 25 tahunan dan usia simbok masih sangat muda sekitar 14 tahunan.
Sejak kecil aku hidup bersama kedua orang tuaku di desa Geneng. Kedua orang tuaku menempati rumah di sebuah tanah pekarangan sebelah selatan kali Pojok desa Geneng, Padarangin. Kedua orang tuaku selain bertani, menggantungkan hidup dari berjualan jambu semarangan, jenis jambu kluthuk yang empuk. Ada beberapa batang pohon yang dipelihara bahkan pohonnya sampai klengsreh, menyentuh tanah. Ketika panen hasil yang didapat cukup banyak hingga beberapa keranjang, saat panen biasanya jambu-jambu itu langsung ditebas bakul.
Saat berumur 4 – 5 bapak kandungku Saridjo Martorejo meninggal karena suatu penyakit, sehingga aku belum begitu ingat wajah bapak. Belum terbayang.

Boleh dikatakan aku hanya sebentar mendapat kasih sayang dari bapak, sehingga aku tidak punya gambaran dan nostalgia sedikitpun dengan sosok bapak. Sebagai pengganti sosok seorang bapak, aku selalu membandingkan sosok bapak pada sosok lik Jimin (adik bapak), sehingga dia aku hormati dan aku dengar ‘pituturnya’ seperti layaknya bapakku.

Pekerjaan yang rutin aku lakukan pada siang hari adalah bekerja di ladang, bertani. Mulai dari nandur pohong (ketela pohon), jagung maupun palawija dan maupun tanaman sayuran lainnya. Khusus untuk pekerjaan menjaga tanaman jagung sebelum panen merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya karena ketika itu tegalan yang berada di pinggir hutan Donoloyo itu masih banyak berkeliaran kethek (kera) dan babi hutan.
Ada cerita menarik ketika aku kecil saat menjaga tanaman jagung. Suatu hari seperti biasa aku langsung pergi ke ladang untuk menjaga tanaman jagung yang hampir panen, ketika itu aku sendirian di ladang karena kakek biasanya pulang ketika jelang makan siang.

Belum begitu lama aku berada di ladang, tiba-tiba segerombolan kera dari atas pohon-pohon jati turun ke ladang dan menyerbu ladang jagung yang sudah hampir panen itu. Kera-kera itu secara serentak langsung menyerbu dan memakan jagung yang masih berada ditangkai pohon. Naluri sebagai seorang petugas jaga yang bertanggungjawab, maka tanpa takut aku menghalau kera-kera kurang ajar itu dengan sebatang kayu sambil berteriak-teriak agar mereka takut. Satu dua kera yang paling dekat dengan aku akhirnya kena sabetan batang kayu dan lari terbirit-birit. Biasanya jumlah kera yang menyerbu ladang tidak banyak paling beberapa puluh dan akan langsung lari ketika diteriaki. Namun kali ini jumlahnya cukup banyak bahkan sampai berjumlah ratusan kera, satu dua kera kena gebug tapi yang lain mencoba mencari kesempatan untuk tetap merusak batang-batang jagung itu. Sudah beberapa waktu aku berlarian ke sana ke mari menghalau kera-kera itu tapi tidak juga berhasil menghalau mereka. Aku sampai krenggosan dan keringat mulai membasahi badan.
Tiba-tiba dihadapanku muncul seekor kera bangkotan. Rajanya kera. Badannya besar, tinggi tegap. Mukanya terlihat sangar. Kera itu dengan tenangnya menuju ke arahku dan langsung menatapku tajam. Aku tidak mungkin melakukan perlawanan. Kalau pun melakukan perlawanan pasti raja kera itu menjadi agresif. Aku pasti dibanting atau di gigit, dianggap musuh. Kalau aku tidak melawan dianggapnya sudah mati atau takluk. Sejenak kera itu hanya diam sambil berdiri dengan kedua tangannya, tak lama kemudian kera itu menerjang dan meringkus badanku. Aku yang lebih kecil dari kera bangkotan itu langsung terbanting ke tanah dan tidak berani melawan. Aku langsung pingsan karena kaget dan takut.
Kera itu menggendong aku lalu di bawa ke atas pohon jati yang cukup tinggi dan ditaruh di antara dua cabang besar, sehingga tidak jatuh. Dan untung lagi aku tetap pingsan, kalau aku siuman pasti akan bergerak-gerak dan tentunya akan jatuh.

Allah masih melindungi nyawaku. Atau para pepundhen Donoloyo masih njangkungi aku.
Ketika bapak sampai di ladang lagi dan tidak melihat aku berada ditegal, dia lalu mencari dan setelah melihat kondisi ladang yang bosah-baseh, bapak langsung bisa menebak siapa yang membuat ladang menjadi seperti itu. Bapak akhirnya menemukan aku yang pingsan diatas pohon jati, dia lalu memanjat pohon dan mendapati aku masih pingsan. Aku lalu digendong turun, dan pulang untuk dirawat. Beberapa waktu kemudian aku siuman lagi dan baru dapat bercerita kepada bapak dan simbok. Bapak juga bercerita kalau aku baru saja digendong kethek.
Kedua orang tuaku bukanlah keluarga kaya --bahkan dari rakyat jelata warga miskin-- sehingga sejak kecil aku sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba pas-pasan dan menjalani hidup mengalir apa adanya.

Namun, justru keluarga dari kakek, mbah Jokerto Karan yang tinggal di Bulutimun memiliki kehidupan lebih mapan, hal ini dapat ditilik dari kondisi rumahnya yang telah ditembok, kakekku memang seorang pedagang yang ulet.
Setelah bapak meninggal simbok harus menanggung beban sendirian yang akhirnya menjadikan dia tidak krasan lagi hidup di Padarangin, salah satu penyebab yang cukup memberatkan adalah tanaman di ladang maupun jambu-jambu yang menjadi andalan penghasilan tiap kali jelang panen selalu habis diserbu kethek maupun celeng, sehingga kehidupannya menjadi serba kekurangan.
Simbok akhirnya memutuskan pergi merantau hingga ke Salatiga. Lalu ke Solo, tepatnya di Gemblegan. Saat tinggal di Gemblegan itulah simbok ditembung dan menjadi istri Asmarejo. Berbekal sedikit modal, simbok memulai hidup baru sebagai penjual beras di pasar-pasar sekitar Gemblegan.
Setelah simbok merantau ke Solo, aku ikut simbah Wanareja mantan kepala desa Watusomo.
Aku mulai bersekolah ketika usia sekita 6 tahun di Sekolah Rakyat Made pada tahun 1942 dimasa awal-awal penjajahan tentara Jepang di Indonesia. Waktu itu guru yang mengajar di SR Made diantaranya Pak Rangga Sarwono Sastrowiryono dan Pak Suyowiyoto. Karena masih kecil maka kalau berangkat ke sekolah selalu bareng mbok cilik Seblong (salah satu adik dari bapak, anake Mbah Wanareja) yang tiap pagi berangkat ke pasar untuk berjualan. Dia dipanggilan Seblong karena waktu itu dia memang seorang gadis yang cantik moblong-moblong, berkulit putih dan selalu murah senyum.

Tiap pagi aku selalu mampir rumah mbok Seblong, karena mbok Seblong juga mendapat titipan dari mbah Rangga mantan kepala desa Watusomo untuk mengantarkan Waryatmi putrinya yang juga bersekolah dai SR Made. Sehingga tiap pagi kami selalu berjalan bertiga menyusuri sepinya Alas Jagir dan Alas Donoloyo.

Pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah aku harus nggiring sapi bersama simbah untuk digembala maupun untuk dipasangi garu ataupun luku guna dipakai membajak sawah. Setelah aku mambantu memasangkan garu maupun luku maka aku segera bergegas berangkat ke sekolah, sehingga pergi ke sawah sambil nyengkelit buku.

Satu pesan dari simbah Wanareja yang terngiang dibenakku ketika suatu pagi setelah selesai membantu memasangkan garu, maka aku pamit ke simbah dan dia sempat berpesan, “Iya, kana ndang mangkat sekolah, aku mengestoni. Terusna anggonmu sekolah suk mben nek lulus dadiya priyayi lan miliha dadi bestuur (pegawai pamong praja).”

Tidak jarang aku harus berlari guna mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di rumah mbok Seblong guna bersama berangkat ke sekolah. Waktu itu tidak kenal yang namanya sepatu maupun seragam. Bahkan mandipun mampir di belik ataupun kali yang aku lewati. Sarapan nasi juga kadangkala, itupun kalau mbok Seblong mendapat keuntungan lebih dari berjualan, biasanya dia menyediakan sekerat pohung rebus dan air kendi sebatas untuk mengganjal perut.

Namun, perjalanan terasa menyenangkan karena mbok Seblong maupun Waryatmi sering bercanda dan sesekali mbok Seblong bercerita, bahkan seringkali Waryatmi bercanda dan meledek aku karena kondisiku yang lebih dekil dibandingkan dia yang putri seorang mantan Kelapa Desa. Tapi aku tidak akan marah oleh ledekan itu, karena aku tahu Waryatmi hanya bercanda untuk menghilangkan kebosanan menempuh perjalanan.

Setelah sampai di Sambirejo maka teman-teman yang berangkat ke SR Made semakin banyak diantaranya Mini dan Sutarmi putranya bapak Sumarso kepala desa Sambirejo. Bisanya mereka berdua diantarkan naik pit kebo. Teman yang lain adalah Sumi seorang gadis kecil yang bandel dan jail karena suka menggangu teman-temannya, tidak jarang dia aku ingatkan dengan aku tendang karena jengkel atas kelakuannya.

Pak Rangga Sastrowiryono dan Pak Suyowiyoto adalah guru yang cukup sabar mendidik dan sangat berwibawa. Tiap kali datang di sekolahan langsung dielu-elukan, tas kulit berisi buku yang ditaruh di dalangan pit kebo selalu dipakai rebutan anak-anak. Mereka berebut untuk mendapatkan kesempatan membawakan tas pak guru menuju ruang kelas. Anak-anak sangat menghormati mereka.

Mereka memakai pakaian Jawa berupa bebedan jarik, baju beskap dan memakai dhestar, ikat kepala dari iket yang dililitkan. Bahasa pegantar yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko. Materi pelajaran diantaranya membaca, berhitung, menulis halus, bahasa Jepang, tulisan Jepang dan lagu-lagu Jepang. Lagu kebangsaan Jepang Kimigayo harus fasih kami nyanyikan. Sementara budaya lokal yang harus dikuasai adalah penguasaan bahasa Jawa halus, tulisan Jawa dan tembang macapat.
Aku sekolah di SR Made tidak sampai tamat hanya sampai kelas 2 saja karena diparani simbok diajak tinggal di Solo.
***
Ketika tinggal di Solo sekitar tahun 1944, aku melanjutkan sekolah di SR Penularan Serengan Solo sekitar setahun sampai kelas 3.

Aku ikut bapak kuwalon namanya Asmarejo. Kerjanya membuat gribig, tutup pintu dari bambu. Bisa menganyam. Aslinya Asmareja dari Boyolali. Islamnya kuat. Suka cerita Yoguwiyu, Pengging.
Pernah mokah pasa. Adus jarene batal mampir kebon tebu. Malah makan tebu. Thuthuki cokoti. Kalau ngaji ngapalke nunggoni senang. Simbok Jainem Bakul beras di Sala. Selain gribig, bapak juga menjual sapu kawat, duk. Sehingga pekerjaan sisik-sisik, irat, dan ngenam bisa aku kuasai. Aku juga ikut ngiderke gribig mlebu metu kutha.

Dolanane nekeran, enthik, nek bengi gobak. Rumahnya di daerah Priggolayan lor tanggul. Mondok nggone pak Karto kranjang. Bakul kranjang mie.

Walaupun pada masa geger aku tetap masuk ke Madrasah sampai kelas tiga. Dapat membaca dan menulis arab dan Pegon.

Disamping sekolah di SR pada waktu pagi hari, aku juga sekolah di madrasah pada waktu sore hari di Jamsaren rumah ndara Wirya. Rumah ndara Wirya memang cukup besar berada daerah Jamsaren Pringgalayan (sekitar kantor Taspen Solo, sekarang). Ustatz yang membimbingan diantaranya ustatz Ahmad, Ustazah Imriyati dan ustazah Ummu Khusnah yang cantik dan halus tutur bahasanya. Suara bagus, tulisannya juga bagus.. kalau salat alam nasrah lagunya sampai sekarang masih terngiang.. Bu Marfuah. Ustazah/pengajar dari Pondok Pesantren Jamsaren. Muridnya dari sekitar Pringgolayan Tipes sampai daerah Ngruki. WAktu itu masih berupa hutan kelapa. Belantara (Baasyir). Materi pengajiannya tarikh lughot dan tajwid, sampai kelas tiga sudah bisa menulis membaca dengan lancar. Mendapat tulis Pegon untuk menterjemahkan.

Model mata pelajaran, tiap hari gurunya ganti sesuai dengan pelajaran yang terjadwal. Pernah mendapat hadiah Quran Trengganu dengan rekal, ketika mengikuti Lomba baca Qur'an. Tetapi katut hilang ketika ditinggal mengungsi ke Ngruki, pulang sudah hilang, itu terjadi saat jaman Clash kedua tahun 1948.
Di Tipes, saat Indonesia Merdeka sempat dapat jatah pembagian uang modal hidup sebesar 1 rupiah 2 sen lewat RT Gumenco (Jepang). Ketika jaman Jepang ada Aksi Polisoneil. Sinyo-inyi Landai dikirim ke Indonesia katanya mau kuliah, tetapi diapusi, nyatanya diberi senjata untuk berperang merebut dan mempertahankan penjajahannya di Iandinesia.
Jaman itu orang susah makan nasi, makannya hanya ketela dan jagung. Itupun kalau bisa membeli. Pakaiannya bukan kain tetapi bago/karung atau kulit/lulang. Bau api dan kaku, banyak kutunya. Rakyat diberi gula. Mangan gula ben beri-beri (diberi gula agar pada terkena penyakit beri-beri). Tetapi tetap dimakan untuk daya tahan.
Setiap habis latihan dengan Tentara Pelajar, dibagi nuk (nasi bungkus) Lauknya sambel dan tempe bacem. Nasi nuk selalu kubawa pulang agar bisa dimakan dengan keluarga. Karena di rumah hanya ada ketela dan singkong.
Latihan ada dermawan pakai granat kawur dibungkus kertas.. Aku ikut membawakan granat.. ikut latihan perang.. kinthal-kinthil..merangkak, bumi hangus, perang gerilya, sampai mendengar rencana penyerangan. Bahkan sering malamnya menyaksikan bumi hangus. Timbang dinggoni LAnda (daripada ditempati Belanda). Belanda datang sudah menjadi puing. Dikrutug montor mabur dan tank dari jalan. Aku tahu betul cara berlindung, yaitu di balik karung beras. Pengaman ditumpuk di Pasar Klewer. Kalau sudah agak aman Belanda masuk Beteng, tentara mundur, aku melarikan diri pulang. KEmbali bermain nekeran bersama Karman, temanku.
Salah satu Sinyo belanda itu ada yang punya saudara perempuan. Saat meninggalkan Belanda untuk ke Solo, dia masih kecil. Dia dipungut anak oleh Raden Mas Jaya Nursaid di Kampung Pringgalayan Tipes, setelah besar dijadikan istrinya. Saat sinyo Belanda itu datang di Solo mencari saudaraya dan berjumpa di Tipes saat dirayakan dengan syukuran dengan dansa-dansi dan pesta minum-minum sehari suntuk.

Ketika itu senjata brem mitraliur lengkap dengan pelurunya rentengan dan megazen ditinggal di luar dinding kayu. Disandarkan gebyok (dinding dari bambu). Aku melihat pelung secara naluriah mengatakan ada kesempatan untuk menggasak senjata yang saat itu sangat dibutuhkan untuk menunjang perjuangan Walau saat itu usiaku baru sekitar 7 tahun namun aku tak menyia-nyiakan peluang itu utuk berjuang. Jiwa pejuang dan akal telah tahu taktik perang dan mencuri senjata musuh. Aku lalu kontak dengan kakak-kakak TP yang di Ngruki (selatan Tangul Tipes, Dawung) dengan menganalisa lokasi dan peluang serta rute, aku memberi informasi kepada tiga orang Tentara Pelajar lewat gedogan (kandang kuda) RM Jaya Nursaid. Rute itu sangat aku kenal menyusuri kali sampai titik sasaran. Aku gambarkan dengan detail. Bahkan aku ingatkan kepada kakak-kakak untuk tidak lupa mengokang senjata untuk menjaga kemungkinan kepergok, kita bisa membela diri menyikat Belanda.

Aku menjadi mata-mata sambil main kelereng. Manyaksikan misi heroik itu. Seakan-akan aku tidak tahu.. Aku melanjutkan main kelereng. Aku tahu bahwa misi itu berhasil. Terjadi kegegeran ketika Belanda kehilangan senjata. Artinya teman-teman berhasil dan sukses merebut senjata itu. Aku pura-pura melanjutkan permainan seperti tidak terjadi apa-apa. Jiwa intelegenku sudah tumbuh.. Gemblengan penderitaan.

Ternyata imbas akan kehilangan senjata itu masih berlanjut. Belanda Marah. Mereka dua hari kemudian aku bertemu dengan teman-teman di markas TP. Mereka begitu senang karena dengan informsi itu mereka mendapatkan senjata. Aku digendong lalu diayun ke atas kemudian ditangkap berkali-kali.. sampai aku teriak-teriak ketakutan. Eporia hysteria karena.. “inilah pahlawan kita..dari kidul tangul di sareyan Bangsinan..

Sebuah senjata bagi Tentara Pelajar yang masih sekolah, bisa dijadikan sebagai tanda lulus dari sekolah. Kalau sudah punya senjata berarti lulus sekolah. Sekolah memberi keterangan, lalu ditulis tangan dan ditandatangai guru dianggap sebagai ijasah… mengangkat dan memberi pangkat sendiri.. paling tidak Sersan.. dan sanggat bangga bisa dipanggil : San.., sersan..! bisa jadi komandan regu, bisa memerintah teman-temannya. Berani petentang-petenteng dan diakui. Mendapat rampasan, mendapat penghargaan khusus bagi TP.

Jaman geger aku dicari mbah Marto Watusomo, untuk diajak pulang. Mbah Marto waktu itu jadi jongos Belanda, dan bisa berbahasa Belanda. Katanya : "Anake arep tak sekolahke ana ndesa, kepriye..? Ben ngancani adhine. Dijemput supaya ngancani Panuwuh (Siswo Pandoyo) dan dik Sidi. Sidi ora gelem sekolah malah pilih angon bareng Sarimin mBendo dan Lik Nardi masih sedulur karo Mbah Wedok. Sekolah nusul wis kelas loro. Dhisik kakung. Wis mangkat nyang Solo baru sekolah. Om Pandoyo wus kelas telu.

Karena geger Affair Madiun aku terputus sekolah. Tahun 1947-1948 tetap di Solo. Baru tahun 1950 kembali ke Slogohimo langsung masuk kelas IV, V dan VI. Ujian di Slogohimo. Ngedhepke ujian sekolah rong enggon (dua tempat). Nek sore ada di SD II. Masuk kelas, Gurunya malah senang. Pagi sekolah. Kelas IV, V, VI ada di Slogohimo.

Sejak kembali ke Slogohimo, ditari karo mbah Ronggo Sarwono Sastrowiryono. Asli Gandapala, Klunggen. Ditari ditakoni Bapak Mboknya siapa. Ditari didhawuhi ndherek ana Made. Umur sekitar 10-11 tahunan. Tugase ngiseni genthong, ngangsu saka mbelik / saka kali, blek tugelan. Mencuci baju Mbah Rangga. Momong Darto, Lilis, dan si Son. Darto, sekarang pengusaha Bengkel Mobil.

Setelah itu sekolahan pindah di Waru. Pindah ke Slogohimo. Dipundhut Pak Rangga. Pak Rangga pindah di Slogohimo. Kerjanya tetap Kepala SD Made.
Kembali ke Watusomo aku tidak langsung sekolah lagi, saat belum sekolah setiap hari mengembala sapi. Pekerjaan lama yang dulu menjadi pekerjaan rutin harus aku jalani lagi, kalau mbah Wanareja ngluku di sawah kulon Gondang Padarangin aku yang nggiring sapiya.

Baru beberapa waktu kemudian aku diijinkan sekolah lagi, namun pekerjaan di sawah tetap aku lakukan. Tiap pagi harus menggiring sapi untuk dipakai mluku. Mbah Wanareja mengijinkan aku sekolah karena obsesinya agar aku kelak kalau tamat digadang-gadang bisa menjadi Bestuur (pamong praja atau perangkat desa jaman Belanda).

Suatu cita-cita sederhana namun karena didorong dengan doa dan ketulusan seorang kakek maka doanya itu didengar dan diijabahi Allah. Akhirnya cita-cita dan harapan Mbah Wanareja terkabul aku menjadi pegawai negeri.
Kalau pagi meluku, setelah selesai kemudian aku lari terbirit-birit ke SR Made kurang lebih 3-4 km dan hal itu aku alakukan setiap hari. Pada jaman Jepang sekolah belum ada.

Supaya jaraknya lebih dekat, aku kembali berangkat dari rumah mbok Seblong di Dologan dan kembali bersama teman satu-satunya yang setia tiap hari menanti di rumah Mbok Seblong yaitu Wiryatmi. Dia kini telah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang cantik, kulitnya putih. Yang aku selalu ingat, di tasnya selalu penuh dengan jajanan dan makanan, tentu saja sebagian menjadi jatahku karena aku dianggap sebagai pengawalnya. Kalau aku tidak masuk dia juga tidak masuk karena untuk sampai ke SR di Made itu tetap harus menerobos hutan, sisi sebelah Barat Alas Jagir melalui Jati Jegot. Lalu lewat Sambirejo, baru sampai di Made.

Mbok Seblong masih bakul grabatan namun kini semakin laris, nek durung entek durung tuku liyane / jajan liyane. Nek nyang pasar dipikul uwong liya. Sing nggawe tempe tiga sampai empat orang. Bojone Mbah Sama (PBH). Tukang angon. Kebone jenege Legi. Karo Lowung, besar. Kebone Lik Nardi. Kudu imbang si legi karo si Lowung. Pasangane.

Wiryatmi dan kera
Suatu hari sepulang sekolah, mbok Seblong menyuruh aku dan Wiryatmi untuk pulang duluan sambil membawa sekitar 50 batang jagung. Sebagian besar aku bawa dengan dipikul dan beberapa batang dibawa Wiryatmi. Kami pun pulang dan harus melintasi alas Donoloyo. Tanpa diduga, di tengah jalan ketemu dengan rombongan kera yang jumlahnya cukup banyak, bahkan mungkin ratusan, mengenjar kami untuk merebut jagung yang aku bawa.

Ingatanku langsung tertuju pada kejadian beberapa tahun lalu saat aku harus berjibaku menghalau kethek-kethek yang menjarah ladang orang tuaku. KArena trauma dengan kethek bangkotan, maka aku memutuskan untuk meyelamatkan diri, apalagi kini aku bersama Wiryatmi yang harus aku lindungi. Bila terjadi sesuatu aku pasti akan kena damptar Pak Rangga.

Aku pun langsung berteriak kencang, “Buang jagungnya ke arah kera!!”
Sejenak kemudian jagung yang aku pikul aku lemparkan dan jagung yang dibawa Wiryatmi juga telah tergeletak di jalan, sebelum kera-kera itu lebih dekat lagi, tangan Waryatmi aku tarik dan segera kami berdua lari terbirit-birit.

Dengan sekuat tenaga, kami terus berlari sekencang-kencangnya menjauhi kerumunan kera yang berebut jagung. Sesekali kami menandang ke belakang, takut kera itu masih mengejar. Sampai di luar hutan terlihat Waryatmi pucat pasi dengan napas terengah-engah.

Alhamdullilah, kami selamat. Itu pengalamanku yang kedua dengan kera-kera Donoloyo. Dibawah deretan pohon pinus, lalu kami berdua istirahat dengan duduk berdua di atas rumput-rumput kering untuk sejenak memulihkan tenaga. Tangan Wiryatmi terlihat gemetar dan wajah yang pucat itu terlihat tanpa ekpresi sepertinya masih ketakutan.

Tanpa permisi aku lalu merogoh tas Waryatmi, mencari bekal yang dibawa dari rumah. Tanganku merasakan ada sesuatu, setelah aku tarik ternyata ampyang. Cemilan dari gula Jawa dengan kacang. Aku ambil dua, satu aku sodorkan pada Wiryatmi. Tanpa ekpresi dia menerima ampyang itu dan mulai memakannya. Akupun mulai memakannya. Kami berdampingan, karena masih ketakutan, makanya dia seperti tidak mau berjauhan denganku. Maunya nempel saja. Aku seperti pahlawan, mungkin seperti Anoman yang berhasil menyelematkan Dewi Trijata. Jan mesra sekali. Makan ampyang bersanding degan gadis cantik. Setelah makan ampyang habis kami baru bisa bernafas lega. Kami baru bisa tertawa. Rasanya geli-geli bercampur senang. Wiryatmi sudah bisa tersenyum lagi.

Tahun 2009 Wiryatmi masih sehat. Dia tinggal bersama anaknya di Jatisrono. Walau punya rumah di Watusomo, bekas kranggan dulu. Walau sudah tua gurat-gurat kecantintikan Wiryatmi masih tersisa. Hubugan persahabatan kami abadi sampai sekarang. Aku anggap dia adalah sahabat karib. Sedulur sinarahwadi. Sampai sekarang kalau kami bertemu, aku selalu memberi salam persahatan. Suaminya bernama Warno adalah juga temanku. Dia tahu persis perjuangan kami dan riwayat kami berdua serta persahabatan kami sejak kami kecil. Aku adalah pahlawan Wiryatmi yang menyelematkan dia dari serbuan kera-kera.

Mbaleni tahun 1951, udan awu kemis legi Gunung Kelud. Kelas IV. Nggone enek Waru Bapak Tukiyo, lokasine wetane Mbah Medi. SR 3 Made sampai hanya kelas III. SD Angka Loro sampai kelas 5. Satimo, Setu (kancane) Asline SD I, Ngungsi gandheng geger Landa. Omahe diobong. Gurune Mbah Jayasusastro dan Pak Sukijo Mardisiswoyo. Bu Hartini (Nggandapala, Adhine Pak Rangga Made). SD Loro di Bulusari (sekolah Ibu Sulamsini) ana kidul pasar. Ndelik karena ada perang Belanda..

Di kelas 4 aku tinggal di rumah Pak Rangga Sastrowiryono di Koripan. Disana ada salah satu puterinya yang bernama Sawitri yang juga kelas 4. Jadi kami bisa sekolah bersama. Sawitri anaknya manis, galak dan cerewetnya minta ampun. Aku sering bertengkar dengan Witri. Dia yang suka cari gara-gara duluan. Tapi karena kedudukanku di rumah itu sebagai batur atau pembantu. Sedang Witri seperti primadona dan tentu meyandarkan pada status dan kedudukan ayahnya yang kaya sebagai priyayi. Namun semua tekanan dan juga teror dari Witri tidak aku gubris, aku anggap hanya angin lalu.

Ndara putri Rangga Sastrowiryono juga galak dan cerewetnya minta ampun. Sama seperti Witri. Selain galak dan cerewet, ndara Putri pelitnya minta ampun. Saking pelitnya tidak pernah ada pembantu yang tahan. Jarang ada pembantu yang tahan lebih dari 2 bulan karena bawel, galak dan pelit. Cerewetnya minta ampun. Pernah aku dicoba, dites. Setengahnya aku dijebak oleh Bu Rangga. Aku disuruh menyapu kamar. Sebelumnya di lantai kamar sengaja di sebar uang. Uang aku ambil namun bukan aku kantongi. Uang aku tata, aku letakkan di meja dengan jumlah yang utuh. Sejak peristiwa itu Bu Rangga baru percaya kalau aku adalah anak yang jujur dan rajin. Selama negnger disana aku selalu tidur di tritisan --samping rumah-- tanpa bantal, hanya beralaskan tikar.

Satu peristiwa yang dapat aku kenang tentang Sawitri yaitu ketika Pak Rangga dan Bu Rangga pergi ke Jakarta menengok adiknya yang bernama Siti Muskirah. Di sekolah Sawitri ditaksir oleh teman sekelasku bernama Sudarto alias Keplok. Dia naksir dengan Witri, namun setahuku Witri tidak menanggapi, sampai-sampai dia menggunakan berbagai cara untuk menggaet buah hatinya. Hari itu dia metitipi aku sebuah bungkusan kain putih dan sembil berbisik dia berpesan agar aku menaruh benda itu di bawah tempat tidur Sawitri.

Saat perjalanan pulang aku berfikir dan menangkap niat yang tidak baik dari Sudarto. Bungkusan yang dititipkan itu terasa mencurigakan, selain dibungkus kain mori, bungkusan itu berbau wangi menyengat. Aku langsung dapat menebak; Sudarto bermain dukun. Dia menitipkan guna-guna lewat aku agar dapat menaklukkan Sawitri. Walaupun aku sering bertengkar dan sering diledek oleh Sawitri, namun saat itu nalar beningku berbicara lain, aku tetap memandang dan menghormati Sawitri sebagai anak majikan yang juga guruku. Aku tetap menganggap mereka seperti keluarga.

Aku tidak mau mencelakakan Sawitri, justru inilah menurutku kesempatan untuk membalas budi atas kebaikan Pak Rangga dan Bu Rangga Sastrowiryono serta Sawitri yang telah memberi kesempatan aku ngenger di rumahnya. Disamping itu, aku juga berpendapat bahwa Sudarto Keplok bukanlah anak yang berbudi luhur, dalam keseharian di sekolah dia termasuk anak yang bandel dan nakal, nilainya tidak pernah bagus karena malas belajar, walaupun untuk urusan olahraga dia jagonya. Bungkusan dari Darto Keplok itu akhirnya justru aku buang ke jumbleng (WC).
Hari esoknya Sudarto telah menungguku di pintu sekolah, dia dengan kikuk menjajari aku menuju ruang kelas sambil menanyakan barang titipan itu, akupun dengan tersenyum lebar menjawab bahwa bungkusan itu sudah aku taruh di bawah kasurnya Sawitri.

Kopi Jos
Setiap awal bulan sehabis gajian biasanya Kepala Sekolah dan guru kasukan (bersuka-suka) hiburan main kartu di rumah Pak Rangga. Waktu itu, Kepala Sekolah Tingkat I dinamakan Rangga Guru kalau tingkat II dinamakan Mantri Guru. Pak Mika, memakai Kejawen Pak Mantri Guru. Jajarane bila sedang rapat adalah Penewu dan Mantri Pulisi. Pada jam tiga malam, aku diperintah untuk membuatkan dan menghidangkan kopi. Dalam hal menyuguhkan kopi ini aku punya resep rahasia: kopi direbus, dimasukkan panci setelah mendidih, dituangkan gula sesuai takaran, diperkirakan. Setelah itu direbus lagi lima menit, agar gula menjadi satu dengan kopi. Sebelum diangkat, aku mengambil bara (arang membara) dua atau tiga buah lalu dimasukkan panci. tunggu beberapa detik, bara diambil, panci diangkat, baru ditungkan/dihidangkan di gelas. Dalam keadaan bersih tidak ada rasa kopi, ampas atau buih tidak ada. Kopi bubuk atau biasanya cap Luwak. Bara itu fungsinya untuk mengurangi kafein. Sehingga rasa murni kopi lebih mantap. Resepku ini jadi kelangenan/kesukaan mereka. Asal main judi menang mereka memberiku tip 5 sen. Wah.. semoga ini halal..

Lulus Ujian SR aku ikut Trilomba. Lari, Lompat, Lempar. Mewakili SD I di Slogohimo lomba lari. Di Wonogiri Panca Lomba. Lompat, lari, lempar. Ethok-ethok semaput. Jadi diajak dan dibelikan seragam olahraga baru. Dibelikan kaos dan sepatu.

Saat kelas 6 SR aku sekolah di SR Slogohimo I. Punya kegiatan yang unik dan luar biasa. Kalau malam les di SR I tapi kalau sore jam 15.00 aku sering menjadi penyelundup dengan ikut les di SR Slogohimo II. Cara itu aku tempuh untuk memotivasi dan mempersiapkan diri agar aku lulus dengan nilai yang baik. Aku melakukan pendekatan dengan guru SR II untuk mendapat kesempatan memohon ijin, namanya Pak Sukarjo. Seorang guru yang pintar, terutama bidang berhitung. Tentu saja tidak asal berani ikut nimbrung di SR II. Aku mempunyai kebernian disamping aku juga tidak kalah pintar dengan anak-anak SR II. Jadi tidak sekedar modal nekat. Mungkin baru aku yang punya inisiatif seperti itu.
Motivasi belajarku sangat kuat, sejak kecil aku bercita-cita ingin menjadi orang pandai walau dengan cara apapun yang penting halal. Ujian kelulusan SR berlangsung di SD Slogohimo I. Hasilnya tidak semua siswa lulus. Aku, Sawitri dan Akudi yang berhasil melalui ujian dengan baik dan dinyatakan lulus.
Waktu itu ada dua kelompok hasil ujian, satu dinyatakan lulus dan kelompok satunya dinyatakan tamat. Bagi yang tamat tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya, sementara yang dinyatakan lulus, baru bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Standar kelulusan waktu itu paling tidak jumlah nilai harus 18 atau rata-rata menapat nilai enam untuk tiga mata pelajaran yang diujikan; Hitung, Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Umum. Aku memperoleh nilai berjumlah 23 karena Bahasa Indonesia mendapat 7, Hitung mendapat nilai 6 dan Pengetahuan Umum memperoleh nilai 9. Sementara Sawitri memperoleh nilai 21.

Tidak lama kemudian ada susulan ujian bagi siswa yang sakit, aku membantu mengerjakan atas nama Masih. Ibune Rumah makan Fajar. Masih waktu ujian justru jatuh sakit hingga ujian susulan belum juga sembuh. Langsung matur Kepala Sekolah untuk diwakili. Joki. Hasilnya bagus tetapi oleh Pak Suparto dikatakan: luwih apik nek sing asli.

Setelah lulus SR, aku turut mendaftar ke SGB. Yang mendaftar ke SGB dari Slogohimo ada sekitar 24 anak, dari SD Slogohimo I diantaranya Aku, Sawitri Akudi, Setu dan Satimo. Namun karena umur belum mencukupi; Setu dan Satimo tidak bisa diterima di SGB. Dengan kekecewaannya akhirnya Setu masuk ke SMP dan Satimo terus merantau dan menjadi kondektur sepur (masinis).

Masuk SGB. Dites lisan ditanya motivasi. Mengapa ingin menjadi guru dll? Dr. Diran dari PNI tidak usah ditest langsung lulus. Pemuda Demokat underbow PNI. Tokoh PNI Wonogiri. Kampusnya di Sendanglanang. Pondokanku lor Kabupaten, Kelurahan Salak. Pertama mondok dekat stasiun, rumah Pak Parjo di utara terminal lama. Bersama Lik Nardi, Sadi (Purwantoro), Parman (Ngadiraja) cilik, setiap ke sekolah aku yang ndandani. Sepatu hitam, seragam putih, celana panjang abu. Tingkat satu Ilmu Pendidikan, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat, Bahasa Inggris. Ilmu Hitung. Berhitung bukan aljabar. Tata bahasa, Paramasasra Bahasa Jawa, Tembang Jawa diuleg-uleg dhewe.

SGB
(bapak)
Ketika sekolah sampai kelas tiga berlangsung lancar. Begitu kelas IV karena berbagai kendala dan peristiwa. Aku tidak mendapat ID (Ikatan Dinas) lagi. Nilai Ilmu Hayatku jeblok. Ikatan Dinas ditarik. Tentu suatu pukulan yang berat, apalagi Mbah Wanareja seda. Penopang beaya sekolah aku tidak ada lagi. Tapi bagaimana, tinggal setahun lagi.

Ikatan Dinas diberikan setiap tanggal muda setiap bulan, seperti gajian. Jumlahnya 60 rupiah. Kost hanya 30 rupiah sudah mendapat makan minum selama satu bulan. Baju satu stel 12 sen. Bisa untuk beli sepeda.
Kelas I, II, III lancar. Kelas IV nunggak. Mbah Wanareja seda. Konsentrasi belajarku terganggu. Mbakyu melu Mbok Darmo Pacitan. Nek nunggak, Ikatan Dinas dicabut. Bahasa Inggris ora lulus. KArena sudah klas papat, aku tetap melanjutkan sekolah.
Akhirnya aku mencari lik Warti mbok Pawira, bisa kepethuk dan aku ikut belio di Selogiri. Butuhe iso sekolah.
Melu ngewangi reparasi sepeda. Macul endut empuk. Macul juara, Mbah Pawira ora duwe anak. Banyak cewek. Habis macul ada cewek lewat, akus apa "Ayo tak goncengke..," padahal gluprut tanah paculan.
Keuletanku dalam membantu keluarga selalu kulakukan. seperti saat anake Mbah Karto Joglo tukang kayu mebel Ngricik duwe anak jenenge Sukiyem. Bocahe ayu tapi maaf, kakinya gejik (cacat).. Tetapi ayune ora umum. Aku mencoba memberi solusi, "Mbah, si Sukiyem kula sekolahne.. "Wis karepmu.." katanya, lalu aku jawab, "Sekolah Modiste mawon, mang tukokke Mesin Jahit. Sikile mangke lak ora ketok." Ternyata dia cukup berbakat, Antarane nek gawe kebayak 10 menit dadi kebayak. Cangih. Ngadeg ngerti Sukiyem gandrung. Akhirnya dadi lan mulyane. Ditukokke mesin jahit pedalan. Ketika Pak Karto Joglo sakit, sing nunggoni Sukiyem. Saat nunggoni, sandhinge ana guru SMP ya lara. Guru SMP tadi walau sudah sembuh tidak mau diajak pulang. Ternyata tergoda oleh kecantikan dik Sukiyem, terus dilamar. Motivasinya senang menolong.

Biaya sekolahku akhirnya ditanggung Mbok Pawira. Diberi gadhuhan pit (sepeda genjot). Mangkat bereng pemuda demokrat enten-entenan, mlaku bareng. Dibero bendera demokrat. Pemuda IPI (Ikatan Pemuda Komunis)juga rombongan kalau berangkat sekolah. Jaman itu mereka saling jor-joran. Geng-gengan. Tidak jarang terjadi pertengkaran.

Dengan ikatan dinas itu biaya hidup lebih dari cukup, bahkan bisa dikatakan berlebih. Kelas III aku nunggak tidak naik kelas. Maka satu tahun Ikatan Dinas dicabut. Terpaksa aku nglajo dari Nglaroh, Ngricik di tempat Pak Pawira Parasi. Parasi adalah julukan beliau karena terkenal dengan keahliannya mereparasi sepeda. Punya bengkel dan jual beli sepeda. Isteri Pak Pawiro itu bernama Bulik Warti. Keponakan Mbah Sarinem ibu dari Bapak. Mbah Sarinem mempunyai saudara namanya Mbah Sarinah. Mbah Sarinah mempunyai anak bernama Warti, Wariyem, Suki (ibunya Yuli Yakup) Mungkin hikmahnya nunggak itulah aku lalu kenal saudara-saudara yang dari Ngricik. Hikmahnya Simbah Wana seda, sehingga ikatan dinsa lepas adalah aku berusaha terus melanjutkan sekolah dengan mencari saudara yang dekat untuk kost. Sebelumnya dengan ikatan dinas aku leluasa kost di dekat terminal lama.

Di Ngricik aku membantu Pak Pawira untuk mereparasi sepeda maupun menggarap sawah. Berbeda dengan tanah di Slogohima, tanah di Selogiri lebih gembur, galengannya lebar-lebar sehingga kalau mencangkul enak. Bahkan beberapa petak sanggup aku cangkul sendiri.

Saat mencangkul sering disapa gadis-gadis yang kebetulan lewat. Dasar Bulik Warti orangnya luwes, kalau bicara pelan halus tapi kesannya manis. Pandai sekali merayu gadis-gadis yang kebetulan lewat. Mempromosikan aku. Dikatakan bawa aku keponakannya, seorang calon guru, sekolah di SGB Wonogiri. Sebentar lagi lulus. Dan segudang kata-kata yang membuat gadis tersipu dan naksir sama aku. Senang juga mempunyai bulik yang menganggapku seperti anaknya sendiri. Kebetulan bulik memang tidak mempunyai anak kandung. Dan tentu aku tahu diri. Aku bekerja dengan rajin. Mencangkul dan bekerja apa saja. Aku juga mempunyai bakat yang trampil untuk urusan bengkel. Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa aku kerjakan. Dari masang baut, tambal ban samapi stel jeruji aku bisa mengerjakan dengan baik. Pak Pawira pun langsung percaya kepadaku.

Pernah suatu sore ketika sehabis mencangkul, dalam keadaan badanku masih basah dan penuh dengan lumpur aku bergegas pulang dengan menaiki sepeda, kebetulan secara bersamaan ada seorang gadis tetangga rumah berjalan hendak pulang. Aku pun berusaha menawari tumpangan, ”Hai mau aku bonceng tidak? Gadis itu sekilas memandang tubuh aku yang berlepotan lumpur. Setelah mengenali aku, gadis yang cukup cantik itu tidak menolak aku gonceng.

Jaman itu kalau seorang gadis ditawari seorang pemuda untuk digoncng tidak sembarangan mau. Artinya aku tidak merasa minder walau aku harus mencangkul, toh sebentar lagi aku akan jadi guru. Dan tentu gadis tadi berharap tidak menjadi isteri seorang petani. Namun itu hanya test case saja. Aku tidak mendekati lebih jauh lagi.

Jiwa menolong dan melindungi sejak kecil sudah tumbuh. Ketika remaja pun jiwa aku untuk menolong orang lain tetap tinggi. Saat itu tetangga aku di Ngricik namanya Pak Karto Joglo, karena rumahnya joglo. Mempunai seorng gadis cantik. Namanya Sukiyem. Wajahnya cantik kulitnya bersih seperti bintang film. Siapapun pria yang memandang pasti tertarik. Namun dia mempunyai kekurangan. Kakinya cacat. Kalau berjalan agak pincang. Terpikir dalam benakku bagaimana supaya kekurangannya itu tidak tampak. Pkerjaan apa yang kiranya bisa menutupikekurangannya. Asal dia tidak berjalan, orang tidak akan tahu kekurangannya. Aku memikir..memutar otak. Terlintas ide. Kalau dia duduk menjahit dan kakainya tertutup mesin jahit. Pasti orang mengira yang menjahit adalah seorang bidadari. Dari ide itu lalau aku bilang pad orang tuanya.

“Lik anakmu arep tak jaluk?"
“Diminta bagaimana?" Jawab Pak Karti Joglo belum tahu arah pembicaraanku.
“Sukiyem biar sekolah Modevak, Lik”
“Modevak ki sekolahan apa?”
“Modevak itu sekolah menjahit. Tempatnya di Sokaharjo. Nanti kalau sudah lulus tolong sampeyan belikan mesin jahit. Sudah lah percaya sama aku, kalau nanti sukiyem buka jahitan, duduk dibelakang mesin jahit pasti tidak ada yangmenyangka kalau kakinya cacat. Tapi mesinnya bukan yang onthel tangan. Mesin yang ada papnya. Bagaimana? Pancing aku.
“Lha berapa lama sekolahnya? Rupanya Lik Kerto Joglo mulai tertarik
“Kalau pinter dan tekun setahun tamat”
“Ya sebagai orang tua aku kan bisanya tut wuri saja”

Singkat kata setahun berlalu. Sukiyem sangat berbakat. Lulus dan mempunyai kehlian yang luar biasa. Ibarat menjahit kebaya dari kain sampai jadi hanya sepuluh menit! Kalau melihat Suki sedang menjahit, duduk dibelakang mesinnya yang canggih waktu itu, kakinya terhalang kain penutup mesin. Cowok siapa yang tidak gandrung. Aku pengin tahu.

Karena sakit yang lumayan parah. Mbah Karto Joglo diopname di RS Wonogiri. Sukiyem yang menjaga. Di samping tempat tidur masih satu amar dengan Mbah Karta ada sorang pasien. Seorang guru SMP yang masih bujang. Melihat kecantikan Sukiyem wlau guru itu sudah diijinkan pulang karena sudah sembuh, belum mau pulang. Hanya kepengin suapaya terus bisa memandang sang primadona tadi. Akhirnya Sukiyem dipersunting Guru SMP. Sekarng entah di mana, kalau dilacak pasti masih di sekitar Wonogiri. Suatu saat akan aku cari sekarang dia dimana.

Olahragawan
Di SGB aku dikenal sebagai olahragawan. Banyak yang menjadi fans aku termasuk Sulamsini. Lari, Lompat, Lempat, dan keahlianku yang lain dikagumi adalah kemampuanku dalam Tiger Sprong. Tiger Sprong adalah gerakan melompati barisan orang yang berbaris membungkuk dengan rapat. Selang seling menghadap kesana dan kesini. 12 orang mampu aku lompati. Aku ancang-ancang seperti mau lompat jauh berlari cepat kemudian melompat seperti harimau, sampai di ujung barisan perintang manusia aku melakukuan rollling, koprol dan jatuh di matras. Jangan dibayangkan matrasnya spon halus yang aman. Matrasnya hanya tumpukan sabut, atau pasir. Pernah karena kurang sempurna melakukan rolling, yang jatuh duluan muka. Maka bibir pun jontor dan kulit muka bagian atas bibir dn pipi mengelupas.

Dengan keahlian aku di olahraga aku didukung oleh guru olahraga. Pernah aku sengaja membuat ulah. Aku pura-pura pingsan. Saat oleh raga jam 11.00 siang. Panasnya bukan main. Aku lari dan tabrakan dengan teman namanya Karno anak Praci. Karena aku lari kecepatan penuh. Karno terpental, jatur, aku limbung. Rasanya bumi gelap. Seketika itu tersirat ide konyol. Aku mau pura-pura pingsan. Seketika gadis-gadis teriak khawatir. Lalu aku digotong ke asrama putri. Aku dirawat dan diberi minum kopi. Aku pura-pura merem. Tapi kalau tidak ada yang melihat aku bangun. Kopi aku minum. Lalu pingsan lagi.

Guru oleh raga aku namanya Pak Kresna begitu khawatir melihat keadaan aku. Sampai beliu mengcapkan nadar, Diujar-ujari. Kalau sembuh dan tidak terjadi apa-apa aku akan diajak jalan-jalan dan dibelikan seperangkat pakaian olah raga. Ternyata benar, suatu saat aku diajak ke toko KHU dan dibelikan seperangkat pakaian lengkap dengan sepatu. Opo tumon wong ethok-ethok semaput kok dapat hadiah.

Pada saat aku masih duduk di kelas 3 SGB temanku yang beranama Karna, anak Praci yang pernah tabrakan dengan aku meninggal karena menderita penyakit malaria. Aku waktu itu sebagai ketua kelas. Jiwa kepemimpinanku dan tanggung jawabku sudah menonjol. Aku ingin mengajak teman-teman sekelas untuk takziah, namun untuk berjalan ke Praci tentu membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam. Kendaraan seperti bus belum ada. Satu-satunya peluang adalah menggunakan truk. Bagi wanita tentu sangat berat bila berjalan sejauh itu. Entah ide dari mana aku punya inisiatif untuk menyewa truk. Tidak laziam waktu itu menyewa truk. Teman-teman aku komando untuk mengumpulkan uang, seadanya. Sebagian untuk menyewa truk, sebagain untuk takziah. Terkumpul sejumlah dana yang tidk banyak. Maklum waktu itu tidak setiap siswa ke sekolah dengan membawa uang saku. Belum ada modelnya uang saku. Aku dengan ijin guru pergi ketembat seorang juragan Cina bernama Go Kom Yong. Dia adalah saudara Gunarto adak Ting San, Tionghwa Slogohimo. Aku pinjam truk dengan sopirnya. Aku mengatakan sejujurnya bahwa anak-anak mau takziah tetapi tidak ada kendaraan. Untunlah Go Kom Yong tidak keberatan. Truk itu akhirnya meluncur ke Praci. Suatu yang sangat mewah dan luar biasa. Mencarter truk pada jaman itu, mungkin kalau sekarang mencarter Pesawat Hercules. Saking langkanya dan tidak lazimnya. Namun kok ide itu sudah terlintas di benak remaja seusiaku. Pak guru duduk di depan dengan sopir. Aku dan teman-teman di bak belakang. Truk besar itupun melahap jalan-jalan yang sudah diaspal waktu itu menuju ke Praci.

Di SGB aku juga pernah membut proyek peternakan.
Pada saat aku mendapt proyek membuat kandang ayam di SGB, teman-teman pada datang dan mengirim makanan, namun Bu Lam juga datang tetapi entah apa yang dibawa untuk orang-orang kerja aku tidak tahu. Pimpinan Proyek kandang ayam itu oleh Dewan Guru yang ditunjuk aku.

Tahun 1958/59 aku berhasil lulus dari SGB. Diangkat dan dibenum (ditempatkan) sebagai guru SR di Lemahbang II Kismantoro. Letaknya di sudut Kecamatan Kismantaoro.

Di sana bertemu dengan keluarga Mbok Jowongso Bulutimun. Bapak Atmo Sumarso (Musron) di Sobo, Kismantoro. Sebelah barat kantor kecamatan kurang lebih 500 m dari kecamatan. Aku diberitahu oleh Mbok Jainem kalau punya saudara namanya Sumarso anaknya Mbok Jowongso yang menjadi guru di Kismantara. Berbekal sepotong informasi yang kurang lengkap itu aku lalu lacak.

Pertama aku datag di Kismantoro aku melapor kepada Bapak Kepala Sekolah SR Lemahbang II waktu itu kepala sekolahnya Bapak Karmo.
Esok harinya aku langsung disuruh masuk kerja karena memang kekurangan guru. Esoknya dengan segudang harapan dan sukacita yang membuncah aku langkahkan kaki memasuki hari bersejarah itu.
Dalam hati tidak ada rasa gentar sedikitpun. Rasa percaya diriku sangat prima. Mungkin karena gemblengan waktu SGB dan pergaulan dengan pemuda-pemuda demokrat. Aku di tes oleh Kepala Sekolah untuk memegang kelas VI. Yang pada saat itu putra camat Kismantoro yang bernama Umarmadi menjadi salah satu siswa di kelas VI. Anaknya lumayan pintar. Apalagi setelah aku kenal bapak dan Ibunya aku disuruh memberi les privat. Setiap sore aku ke kecamatan untuk memberi les.
Ibu camat orangnya begitu familier, begitu aku datang sebelum memberi les selalu ditanya, “Sudah makan belum, nak..? Silakan ambil sendiri”. Walau dengan pakaian yang sederhana, memakai kebaya, kainnya cuma disuwel kaya sarung. Kainnya ketinggian layaknya orang Madura kalau pakai kain. Tapi dimataku luwesnya bu camat bukan main. Mungkin karena rindu aku dengan figur keibuan seperti bu camat itu. Bu Camat dan Pak Camat adalah orang PNI, karena cocok dengan pahamnya aku juga secara total dalam memberikan les pada putranya. Tidak tanggung-tanggung seluruh kemanpuan aku yang masih fresh dari meja pendidikan aku tumplak untuk kemajuan Umarmadi. Hasilnya dia lulus dengan nilai yang bagus. Belakangan dia menjadi camat juga.

Masyarakat Kismantara waktu itu masih banyak yang menganut dinamisme-animisme. Dan yang terkenal adalah warok. Ada salah satu siswa kelas VI yang menjadi gemblakan seorang warok. Gemblakan adalah pacar laki-laki. Karena warok pantang mempunyai pacar seorang wanita. Kalau dia berhubungan dengan wanita, katanya ilmu kebalnya akan luntur. Warok adalah jawara, jagoan dan tidak sembarang orang mau menegurnya. Aku cari akal bagaimana agar anak muridku tidak diganggu Warok Gesing, dekat Tinasat, dekat perbatasan Ponorogo. Namanya Parmun. Setiap pasaran Purwantoro, pasti anak muridku ada yang tidak masuk, diajak gemblakannya warok Parmun jajan ke pasar.

Pada suatu hari pas pasaran Purwantoro, Parmus seperti biasanya sudah mau mengajak Paiman yang telah lama menjadi gemblakannya. Orangtuanya sudah tidak bisa apa-apa karena sudah banyak menerima pemberian dari Parmun. Mulai barang-barang yang kecil sampai dibelikan sapi. Saat itu Warok Parmun dengan penampilannya yang bagai jawara mampir ke sekolahan. Pakai pakaian kebesaran hitam-hitam dengan ikat kepala, lengkap dengan pusaka yang selalu disengkelit di pinggangnya.. yaitu sebuah cemeti.

Dengan muka yang ramah dan manis aku bertanya kepada Parmun, “Mun, apa kamu memang benar-benar cinta sama Paiman?" Pancingku membuka pembicaraan.
“Lho bagaiman to pak, bagaimana tidak cinta, setiap hari pasaran dia aku ajak ke pasar aku belikan apa saja yang dia suka..” Jawabnya dengan mimik serius.
Namanya warok, dunia seperti miliknya, tidak ada yang ditakuti karena dugdeng, mempunyai kesaktian dan kekebalan.
“Begini, aku mau bicara kalau kamu memang benar cinta sama Paiman kamu harus mau mendengar apa yang akan aku katakan. Tapi sebelunya janji, ya. Kamu tidak boleh marah atau sakit hati, karena apa yang akan aku katakan ini demi kebaikanmu dan juga Paiman.
“Nggih, aku janji.” Katanya mantap.
Aku sidikit dapat angin karena biasanya warok itu walau brangasan temperamental tetapi sportif. Kalau sudah bilang A ya konsisten A.
“Begini, kalau kamu memang cinta dengan Paiman, kamu tidak usah mengajak Paiman ke pasar. Karena sebentar lagi Paiman akan Ujian. Kalau sampai Paiman nanti tidak lulus karena setiap pasaran Purwantoro tidak masuk, lama-lama dia akan ketinggalan pelajaran. Kalau sampai Paiman tidak lulus, tentu dia akan malu. Karena penyebabnya kamu maka dia akan membenci kamu. Bisa-bisa dia tidak mau menjadi gemblakmu lagi. Coba pikir? Apa yang Pak Guru katakan ini benar apa salah?"
Rupaya dia mendengar dan mau mengerti apa yang aku katakan. Tetapi karena dia terlanjur datang tentu dia tidak mau kehilanan muka. Sebelum dia sontak bereaksi atau dia berubah pikiran maka aku memberinya sebuah peluang agar dia merasa tidak dipermalukan.
“Kali ini karena kamu sudah sampai di sini, Paiman boleh kau ajak. Tapi ingat pesanku tadi, sebelum ujian selesai kau tidak boleh menganggu belajarnya. Kalau sudah selesai ujian kamu ajak setiap hari pun kami tidak akan melarang. Bagaimana?"
“O nggih." Katanya setuju.
Paiman pun akhirnya diajak ke Pasar. Sebelum jam 12.30 Parmun sudah tiba di sekolah lagi. Mengantarkan Paiman untuk sekolah. Anehnya sarungnya seperti membawa sesuatu, kelihatan ‘mbendhoyot’ sarungnya melendung seperti gendawon kambing. Ternyata dia membawa oleh-oleh untuk guru dan teman-teman Paiman. Oleh-olehnya adalah onde-onde. Jumlahnya ada kalau 100 butir. Semua guru dan teman-teman paiman semua kebagian. Sambil makan guru-guru menyeletuk. “Baru kali ini ada guru baru, masih muda lagi tetapi berani menaklukkan warok Parmun yang kondang dug-deng”
Tak henti-hentinya sambil makan oleh-oleh warok parmun. Guru-guru tidak henti-hentinya membahas keberanian dan keberhasilan pendekatanku.

Isteri
Kalau di rasa lucu juga, hubunganku dengan Sulamsini, isteriku terasa seperti tidak direncana. Kami ketika di SGB belum punya perasaan apa-apa dengan Lamsini. Tidak ada hubungan yang mengarah pada perasaan senang, apa lagi pacaran. Bahkan aku menganggap Sulamsini itu saudara tuaku, karena sama-sama dari Slogohimo. Aku memanggilnya Mbak Lam. Anehnya teman-teman SGB kalau mau membonceng aku selalu permisi dulu sama Mbak Lam.
“Mbak aku Mbonceng Mas Parno ya..?” Walau mereka tahu kalau yang sering aku bonceng itu anak Pokoh, Suprapti namanya. Orangtuanya sudah janda. Dia punya keahlian membatik. Aku senang kalau menunggui dia membatik. Aku sering berlama-lama memandang wajahnya yang cantik. Kalau dia konsentrasi membatik aku leluasa memandangi wajahnya. Aku perhatikan kalau dia menoleh sambil mengisi cantingnya dengan malam (cairan untuk membati). Canting lalu ditiup dulu sebelum ditorehkan pada kain. Perasaanku ketika dia meniup canting itu seakan dia menjelma menjadi seorang dewi. Cantik sekali. Apalagi kalau menungui dia mbatik sambil minum rujak kelapa. Di depan rumahnya banyak sekali kelapa yang pohonnya pendek tetapi buahnya lebat. Aku senang dengnnya. Pertama karena cantik, pintar membatik dan orang tuanya sudah janda seperti aku. Anaknya cantik, sinom (anak rambut) di keningnya lebat prenuk-prenuk, keningnya agak nonong, bibirnya tipis kalau meniup canting jadi nyumik. Cara ngomongnya tledhak-tledhok, familier. Menggemaskan. Kalau aku dekat dengannya ingin rasanya mencubit pipinya. Aku merasa senasip dengan Prapti. Dia anak orang tidak punya. Aku juga begitu. Aku merasa punya teman yang mempunyai nasip yang sama. Sama-sama anak orang tidak berada. Mungkin ikatan itu yang menjalin hubungan yang semakin erat. Aku mempunyai perhitungan, dia cocok dan sederajat dengan aku. Tidak nyulapi. Orang aku ibarat kleyang kabur kanginan. Berselimut mega, beratap langit. Sekolah saja memilih yang ada Ikatan Dinasnya. Kalau tidak siapa lagi yang akan membiayaiku sekolah. Ayah sudah tidak ada lagi, sedang Simbok boro-boro mikir aku. Mikir dirinya sendiri saja susah. Apalagi simbok orang bodoh, tidak berpendidikan. Pak Rangga dan Bu Rangga yang semula kuharapkan, setelah lepas kelas VI sama sekali tidak memikirku lagi. Maklum memang tidak semestinya, sanak bukan kadang bukan. Aku saja yang terlalu berharap. Aku keluar dari Kranggan tidak diberi apa-apa. Dalam hati kecil aku mengharap dengan kesetiaan dan kerajinan serta pengabdianku yang total aku mendapat kan sesuatu. Hadiah apa uang. Namun semua itu tidak ku dapatkan. Bahkan sepotong baju pun tidak. Namun aku tetap terimkasih dengan bimbingan Bapak Rangga lantaran beliau aku mendapat ilmu. Lantaran beliau aku mempunyai cita-cita yang semakin kuat untuk menjadi guru.

Ternyata Prapti walau juga menanggapi cintaku tetapi dia sudah berjanji dengan dirinya sendiri. Dia tidak akan pernah mau berumah tangga dengan saudara maupun teman. Hal itu pernah disampaikan kepada Mbak Lam. Namun hal itu tidak pernah disampaikan Mbak LAm kepadaku. Bahkan dia benci sama aku.
Pernah suatu sore aku pernah berjumpa dengan Bu Lam. Dia baru pulang layat dari Solo. Waktu itu sudah habis magrib. Aku tahu kalau dia sedang sedih. Wajahnya murung. Aku khawatir kalau dia memendam masalah tertentu. Aku akhirnya mengantar dia sampai ke kost nya di Gudang Seng. Aku berjumpa di dekat Kodim Wonogiri. Aku tanya Bu Lam diam saja. Lalu aku antar sampi ke kost. Dia tidak kuasa menolak. Sepanjag perjalanan kami hanya diam-diaman saja. Aku menganggap kalau dia adalah kakak aku. Sama-sama satu desa dari Slogohimo.

Lamaran
Mbah Atmo Kismantoro tahu kalau aku akan dilamar orang Kismantoro. Aku waktu itu sekenanya saja bilang bahwa aku sudah punya calon. Anak Slogohimo. Aku katakan itu hanya sekedar alasan agar aku bisa menghindar karena aku tidak suka dengan situasi dan keadaan masyarakat di Kismantara waktu itu. Masyarkatnya keras, Gampang sekali dipicu konflik. Sedikit-sedikit membunuh. Bahkan ilmu hitam seperti guna-guna dan santet sering kali menjadi sesuatu untuk menyelesaikan masalah. Aku merasa tidak begitu tenang dan sreg dengan masyarakat Kismantara. Maka aku selalu menghindar jika ada yang menjurus-jurus membicarkan masalah perkawinan.
Karena aku mengatakan bahwa aku punya calon di Slogohimo. Pikiran orang tua waktu itu, seperti halnya Pak Atmo langsung pana ing pamawas lalu menjajagi. Pasti tidak salah lagi, temannya yang sama-sama guru di Slogohimo tidak ada dua yaitu anaknya Pak Martoturanggo. Utara Kecamatan Slogohimo. Tanpa mengatakan ba, bi atau bu. Pak Atmo langsung berinisiatif melamar anaknya Pak Martoturangga yang bernama Sulamsini. Pak Atmo dan pak Martoturonggo adalah dua orang yang sama-sama micara. Artinya mereka adalah ahli kalau sudah bicara dan merangkai kata. Ibarat kata kalau dua orang itu bertemu sudah pasti gayeng. Pak Marto pandai cerita dan kaya pengalaman tentang sastra dan wayang, Pak Atmo demikian juga. Jadi kloplah mereka.

Pendek kata mereka tanpa sepengetahuan kami telah mengadakan kesepakatan. Mereka menjodohkan aku dan Mbak Lam. Langsung mereka mencari hari yang baik. Itulah cerita yang lucu namun karena mereka adalah orang-orang yang terhormat dan orang tua yang tidak punya maksud yang tidak baik maka kami hanya bisa menurut. Akhirnya kami menikah. Pada tangal 23 Februari 1960 di Slogohimo. Semua guru Kismantara semua datang. Mereka naik truk. Aku ingat betul, aku dipangku Bapak Camat Kismantoro. Namanya Bapak Hadi Muhtarom.

Dari perkawinan kami lahir nak-anak kami.
1. Teguh Hani Mursito, artinya adalah jadilah anak yang teguh dan mursid
2. Heni Rahayu, Anak perempuan yang selamat
3. Wiyono Undung Wasito, Semoga selamat, menjadi anak yang mempunyai ilmu yang banyak dan bisa memberi nasehat yang baik. Kami berharap dia kelak bisa menjadi sastrawan, seorang penulis layaknya pujangga agung Raggawarsito yang mampu memberi pencerahan dan nasehat atau wasito. Undung ketika di dalam kendungan pernah ditundung. Tundungan itu aku dengar dengan telinga aku sendiri. Pemilik rumah yang mempunyai paham partai yang lain rupanya tidak begitu suka dengan keluarga aku. Rasan-rasan itu aku sampaikan kepada teman separtai yang bernama Pak Jalal. Dia langsung mempunyai inisiatif, tanpa sepengatahuan aku rumah aku dibongkar dan dipindahkan. Tidak jauh dari lokasi semula. Tepatnya di pekarangan Bapak Mertua.
4. Lilis Prastiwi, artinya kalis dari perisiwa G. 30 S PKI. Sebuah peristiwa yang membuat miris siapa saja. Ibaratnya dalam tahun-tahun tersebut eksalasi politik sangat panas. Banyak saudara, teman dan tetangga yang tersangkut kekisruhan politik yang pada waktu itu entah karena terbawa jaman dan kekisruhan yang edan maka hampir tidak ada sebuah pegangan yang bisa dijadikan waton atau patokan mana yang benar dan salah. Serba kisruh. Itulah jahatnya politik. Kalau saja tidak mendapt perlindungan dari Allah, keluarga kami tentu sudah hancur dan menjadi kurban keganasan dan kekisruhan gegeran politik itu.
5. Anak kelima lahir dengan nama Toto Hendrato. Kami harapkan Hendrato layaknya raja yang bisa menata. Hendra artinya adalah raja. Namun kata orang tua nama Hendrato itu terlalu berat. Orang Jawa mempunyai keyakinan kalau keberatan nama kan menjadikan kurang sehat. Suatu saat dia kena penyakit berat. Semacam Typus yang karena panasnya menyerang syaraf, sehingga dia ngomyang, pikirannya kacau. Seorang yang berilmu namanya Pak Paiman menyarankan untuk diganti namanya menjadi Mulyono. Oleh kakaknya Undung ditambahi Amrih. Sehingga namanya menjadi Amrih Mulyono. Harapannya agar selamat dan mulia hidupnya. Anehnya begitu diganti namanya dia sembuh. Dia diaku anak oleh Pak paiman. Rumahnya Randusari.
6. Kun Prastowo. Artinya Kuncara setelah peristiwa G. 30 S. Peristiwa Geger G 30 S itu begitu membekas. Menjadi sebuah trauma yang dalam. Kun Prastowo artinya sebuah harapan agar kuncara setelah prastawa atau peristiwa G. 30 S. Kami berusaha melupakan dan menghapus kenangan kelam dan traumatik jahatnya. Semoga setelah kelahiran anak kami yang keenam keadaan menjadi kuncara.
7. Adhi Lukito. Artinya menjadi tokoh yang baik. Lukito adalah nama salah seorang teman seperjuangan yang gigih dalam perjuangan pada jaman revolusi. Adhi lukito lahir tepat ketika peristiwa pemilu tahun 1971.
8. Anin Saptantri. Anin lahir tahun Alip hari Senin. Saptantri, sapta artinya tujuh bersaudara, dia anak perempuan yang ketiga. Nama itu diusulkan oleh mas Undung.

Nama kinarya japa. Nama adalah doa.

Sebenarnya banyak peristiwa sekitar peristiwa ontran-ontran G. 30 S PKI. Banyak peristiwa tragis namun juga unik dan itulah jaman gelap. Jaman yang kisruh. Aku sebenarnya tidak ingin mengingat-ingat peristiwa itu karena begitu banyak kurban. Entah bagaimana semua hanya dipandang hitam dan putih. Kita sebagai orang bawah tidak tahu peritiwa itu kaitannya dengan politik. Tidak tahu setting besar yang dirancang para elit-elit politik di tingkat pusat. Yang kami ketahui di tingkat bawah hanyalah sebuah doktrin bahwa PKI melakukan kup/judeta kepada pemerintahan yang sah yaitu NKRI. Itu saja. Jiwa nasionalis yang sudah kadhung mengakar dan juga semangat muda Soekarnois yang berafialisasi pada partai PNI akhirnya mau-tidak mau berhadap-hadapan dengan PKI di pihak lain.

Kami para pegawai dan juga anggota masyarakat terbelah menjadi dua-tiga. Nasionalis, Agamais dan Komunis. Nasionalis dan kaum agama di satu pihak bergabung berhadapan dengan pihak Komunis. Namanya politik, semua menjadi hitam putih. Baik dan buruk. Benar dan Salah. Itu saja. Kami dihadapkan pada sebuah permasalahan yang kami sndiri tidak tahu. Pokoknya PKI komunis, anti agama. Anti NKRI itu saja. Akibatnya kami seperti diadu.
Sungguh peristiwa yang baru bisa diurai ketika tiga puluh atau empat puluh tahun kemuadian. Itupun banyak data yang sampai kini kami belum tahu. Siapa yang benar, siapa yang salah. Bahkan data terakhir bahwa semua itu memang didesain oleh seorang yang ingin berkuasa. Ontran-ontran itu dibuat. Besar kecilnya kami adalah kurban. Kami diadu. Kami dikonfrontasi dengan indoktrinasi yang akhirnya kami harus berselisih dengan saudara sendiri. Berselisih dengan kerabat. Layaknya perang Bharatayuda.
Orang-orang oportunis yang menyusup ke kubu Bung Karno. Dengan taktik dan strateginya ingin merebut kekuasaan dengan membuat ontran-ontran. Membuat image dan pecitraan bahwa PKI itu kejam, biadap dengan terbunuhnya Pahlawan-pahlaan Revolusi. Entah siapa yang melakukan pembunuhan akhirnya kabur juga.
Image.
Citra PKI yang dibuat kejam, anti Tuhan, melakukan kudeta itulah yang menjadi propaganda besar untuk mengobarkan semangat nasionalisme. Dan 4 juta orang menjadi kurban. Kami yang di desa di kampung-kampung akhirnya terhasut. Tangan-tangan kami ikut kotor karena kami tidak tahu. Untuk siapa dan apa yang menjadi tujuan dari kisruh dan geger itu.

Kalau dipikir dengan jernih entah siapa yang salah. Namun pada saat itu susah untuk mencari yang benar dan yang salah. Paham Komunis dan Paham nasionalis menjadi dua kutub yang bertentangan. Dua kutup yang berseberangan dengan paham dan prinsip-prinsip yang berbeda. Keduanya dilindungi dan dua-duanya adalah anak emas Bung Karno. Bung Karno gandrung dengan paham Komunis yang mengusung paham sosialis yang mendewakan keadilan dan kesamarataan. Keadilan sosial yang menjadi salah satu pilar yang akan dibangun Bung Karno. Nasionalis juga demikian. Juga Agama.
Maka Paham Nasakom, Nasionalis, Agama dan Komunis dipercaya kalau bersatu akan menjadikan negara ini sejahtera. Secara teori hal itu sangat ideal dan masuk akal. Namun begitu ke ranah politik maka semua menjadi bias. Agama kalau dibawa ke ladang politik akan terjadi distorsi. Demikian pula paham Sosialis dan Nasionalis. Akhirnya yang terjadi adalah bentrokan. Yang jadi tumbal adalah rakyat.

Pada jaman G30 S itu aku aktif menjadi tim indoktrinasi. Aku diangkat sebagai petugas intel dari kabupaten. Ketika itu yan menjadi Jaksa adalah Bapak Pujoko SH. Setiap kecamatan ditunjuk satu orang. Namun untuk Kecamatan Slogohimo ditunjuk dua orang. Yaitu aku dan pak Sudirdjo HP (almarhum). Tugasnya adalah indoktrinasi, kontra spionase dengan pihak PKI. Melakukan indoktrinasi dan perlawanan dengan paham-paham komunis. Tentu yang paling menjadi andalah adalah meyakinkan bahwa Komunis itu telah melakukan kup.
Komunis adalah paham yang salah yang anti NKRI. Aku pelajari benar buku-buku Marxisme dan Kapitalisme. Aku baca buku-buku tentang paham-paham dan doktrin-doktrin PKI. Di satu sisi kami kagum juga dengan paham tersebut. Namun kami juga melakukan kritik-kritik dengan kelemahan dan sisi-sisi negatif dari paham itu. Secara kritis kami melakukan kajian dan diskusi dengan teman-teman sepaham. Pak Sudirdjo, Pak Suparto, dll.
Kami juga melakukan kajian dan telaah dengan doktrik Sukarnoisme, nasionalisme dan marhaenisme. Jadilah kami ujung tombak yang terlibat dengan peristiwa yang tragis itu. Tahunya kami hanya bagaimana bisa selamat dan mengemban tugas sebagaiman itu menjadi kewajiban. Mengenai benar dan salah hanya Allah yang tahu. Kalaupun kami harus berseberangan dengan rekan-rekan dan saudara-saudara artinya itu sudah menjadi kehendak Allah.
Walaupun pada akhirnya kami tahu bahwa kami-kami ini akhirnya hanya sebagai pion-pion yang menjadi kurban. Kurban politik. Paham dan keyakinan yang pada waktu itu kami yakini kebenarannya seratus persen, dalam rentang waktu dan sejarah ternyata tidak seratus persen benar. Namun kami hanya melakukan apa yang kami anggap paling benar pada waktu itu.

Kalau dipikir kami selama gegeran itu melakukan suatu yang di luar batas kemampuan normal. Kami dihadapkan pada pilihan hidup dan mati. Kami dihadapkan pada sebuah jalan buntu yang tidak bisa menghindar lagi. Kuldesak. Kami tidak bisa menghindar. Dari pada kami mati konyol, lebih baik kami bertindak. Sungguh ngeri. Nyawa hanya di ujung tanduk. Rasanya tidak tenang di rumah. Bergerak dan bergerak. Belati selalu terselip di pinggang. Ilmu rangkepan yang jelas-jelas musrikpun akhirnya menjadi tameng. Hanya untuk menyelamatkan nyawa. Padahal yang punya nyawa adalah Allah. Karena jaman yang edan, kami pun sampai terperosok pada perbuatan musrik.
Kami berguru pada seorang kyai untuk memperoleh kesaktian. Kami mendapat ajian. Kodok Angkrong. Ilmu kodok. Kalau kami wateg ajian itu ibarat kodok, tidk mempan di timpuk batu. Kami menjadi sakti dan kebal. Kalau misalnya tabrakan motor atau mobil, mobilmya boleh saja ringsek namun kami akan selamat. Bisa dikatakan mencari ilmu karang, ilmu kebal adalah sebuah kemusrikan. Namun hal itu me menjadi umum. Orang sudah kehilangan kendali dan pegangan pada Allah. Yang dihadapan hanyalah bahaya dan mencari keselamatan. Ibarat orang kalap di air, walau rumput-rumput yang rapuh akan kami gapai agar kami bisa menyelamatkan diri. Astagfirullah... semoga Allah mengampuni...
Semoga ilmu itu kini tidak membekas dan sudah hilang... kalau belum tentu akan menjadi perintang ketika kami sakaratul maut..

Ada peristiwa yang tragis dan cukup menyayat ketika tertangkapnya gembong PKI namnaya Pak Saryoko. Menjelang tertangkapnya Pak Saryoko dan Bu Saryoko melarikan diri ke arah Domas. Karena buru-buru dan tidak ingin tertangkap bayinya yang bernama Bayu, dibuang di sawah Nggablok, dekat desa Sedayu. Kasihan bayi Bayu. Dia seperti daun genjer yang kleleran dan sawah. Lagu PKI yang terkenal pada waktu itu adalah lagu Genjer-genjer.

Genjer-genjer
Neng kedokan pating keleler..


Lagu itu adalah sindiran kepada lawan-lawan politik PKI bahwa akhirnya suatu waktu mereka akan kleleran seperti daun-daun genjer. Maklum waktu itu memang ganjer adalah gulma, rumput liar yang tidak ada gunanya.



Ditemukannya Bayu menjadi peluang untuk menemukan dan menangkap Pak Saryoko. Lalu diumumkan kepada khalayak, sebuah ultimatum yang bunyiya kalau sampai besok Pak Saryoko dan Bu Saryoko tidak menyerahkan diri maka bayinya akan ditembak di perempatan (Perempatan Bawah Bulusari dan Gunan, Depan Bu Yasa). Rupanya ancaman itu efektif juga karena langsung disebarkan oleh anggota Gerwani, dari mulut-ke mulut. Dan informasi itu sampai juga kepada Bu Saryoko. Nalurinya sebagai ibu tentu tidak tega kalau buah hatinya itu ditembak. Gertakan itu mengena.

Jam 4 sore Bu Saryoko datang ke rumah. Menyerahkan secepuk perhiasan emas dan berlian. Minta supaya eksekusi itu dibatalkan. Dia merayu dengan memberi iming-iming secepuk besar perhiasan. Dengan pesan agar dirinya dan Pak Saryoko (ketika itu PS Slogohimo) Dibebaskan. Minimal tidak diperkerakan. Hati siapa yang tidak tergoda. Namun aku masih ingat nasehat seorang kyai yang mengatakan dalam suasana perang tidak boleh menerima barang apapun kecuali sekedar untuk menyambung hidup. Dan aku katakan “Simpan saja bu, nanti kalau sudah suasana aman, bisa njenengan pakai untuk hidup" Akhirnya Bu Saryoko menyerahkan diri ke Markas, rumah Bapak Marsudi, Bulusari. Depan Bu Yasa.

Dari pengalaman ini aku tarik Perang Badar... jalut.. bahwa harta dan suap hanya akan melemahkan iman. Dan beberapa teman yang pada jaman itu mencari keuntungan sendiri akhirnya menemukan karmanya. Banyak yang tidak selamat bahkan mendapatkan tulak dan karma berupa aib dan kesengsaraan dalam hidup.

Dalam kaitannya dengan peristiwa larinya Pak Saryoko, ada seorang kader PKI yang masih saudara sendiri, namanya Pak Marmo. Rumahnya Geneng. Dia masih keponakan Mbah Wanarejo almarhum. Jadi aku memanggilnya Lik atau paman. Aku tahu kalau dia kesangkut juga, untuk menghindarkan agar dia selamat maka dia aku perintahkan untuk mencari Pak Saryoko. Aku perintahkan untuk mencari ke arah selatan. Ke arah Setren dan Pakis, Noroto. Padahal aku tahu persis Pak Saryoko lari ke arah Utara, dari arah Gunung Braja lalu bergerak ke arah Utara, ke arah Domas. Maksud aku agar Lik Marmo selamat. Dia pun bergegas mencari Pak Saryoko menuju arah selatan. Tentu saja dia tidak mendapat sisik melik apapun. Karena capek dan takut ketika melaporkan bahwa dia tidak mendapat hasil, dia pingsan. Mukanya pucat. Mungkin karena capek, lapar dan takut dia malah dipersalahkan. Karena taruhannya adalah penjara atau bahkan dibunuh. Padahal maksud aku dia supaya lari. Begitu tahu kalau upaya itu sebuah kesengajaan agar menyelematkan diri dari tangkapan Kodim, dia lalu membangun makam pamannya, bapakku. Sekaligus membuat lubang karas, yang diisi pasir untuk liang lahat Mbok Jainem, Ibuku. Karena sudah dipersiapkan lubang itu atau bagaimana umur Mbok Jainem malah panjang umur. Lebih 25 tahun setelah lubang itu dibuat baru Mbah Jainem meninggal.

Setelah selang satu hari Bu Saryoko menyerahkan diri. Pak Saryoko pun tertangkap. Tertangkapnya Pak Saryoko tanpa insiden. Adalah jasa dari Pak Suparto gendut almarhum. Pak Parto membujuk pak Saryoko dan menjamin bahwa dia akan aman. Dengan sukarela akhirnya Pak Saryoko dengan dikawal pak Suparto dan pak Radi, seorang polisi sektor akhirnya menyerahkan diri.

Setelah geger G 30 S PKI aku jadi pejabat darurat Kepala Desa Slogohimo dengan Carik Sukiyono (Koripan, staf kecamatan Slogohimo) namun karena keadaan masih belum menentu, Bu Lamsini tidak setuju, disuruh menyerahkan kepada orang yang belum punya pekerjaan. Karena aku sudah menjadi guru. Akhirnya kepala desa aku serahkan kepada Purwosuyoso suami Duniati. Masih ada hubungan saudara.
Naluri seorang istri ternyata ada benarnya. Pak Sono yang menjadi kepala desa akhirnya kariernya sebagai guru banyak terhambat. Untung di hari tuanya ada program konversi untuk menjadi guru lagi. Kalau tidak ada program itu tentu Pak Sono tidak akan mendapat dana pensiun. Sebenarnya aku mau menjadi pjs Kepala Desa itu karena ingat jaman dulu Mbah Wanareja menginginkan aku menjadi Bestuur.
Sesaudah G. 30 PKI jadi perancang pamong-pamong desa di Slogohimo dengan Pak Sudirjo. Beberapa kali memperjuangkan diangkatnya warga potensial agar dapat diangkat menjadi guru SD dan TK.

Cerita tentang parade Reog di Senayan: Iket jatuh tidak ada yang berani mengambil? Pertemanan dengan bupati Wonogiri Begug Poernamasidhi? (to be continue..)

Cerita tentang ditundung. Tundungan itu aku dengar dengan telinga aku sendiri. Pemilik rumah yang mempunyai paham partai yang lain rupanya tidak begitu suka dengan keluarga aku. Rasan-rasan itu aku sampaikan kepada teman separtai yang bernama Pak Jalal. Tanpa sepengetahuanku, dia ber inisiatif membongkar dan memindahkan rumah aku. Tidak jauh dari lokasi semula. Tepatnya di pekarangan Bapak Mertua.


Kontes Kecantikan ala Camat Jenggo
Ada seorang camat Slogohimo yang sangat temperamental. Namun mempunyai wibawa dan juga kharisma yang kuat. Seorang yang mempunyai idealisme dalam pembangunan namun juga seorang yang sangat peduli kepada kesenian. Seorang pemimpin yang cukup nyentrik. Namanya Pak Moermawigati.


Idenya untuk pembangunan Slogohimo sangat benyak. Terutama adalah tlasahisasi dan pelebaran jalan puter distrik. Istilah puter distrik adalah jalan-jalan utama yang menghubungkan antara kelurahan. Tlasahisasi ini bermula dari omong-omong denganku.

Waktu itu beliau berkata, ”Piye ya carane supaya kendaraan Colt bisa masuk ke kampung-kampung?”


Aku mengatakan, “Gampil menika Pak..” kataku.
“Gampil piye!?” selidiknya antusias ingin segera tahu.
“Sauger margi-margi dateng ndusun menika dipun tlasah, kendaraan temtu dumugi ndusun-ndusun.”


“Bener-bener..,” katanya sambil manggut-manggut nampak senang. Seakan masalah transportasi itu bisa diatasi. Tidak lama kemudian turun instruksi kepada para lurah dan kepala desa. Setiap warga yang mempunyai tanah menmperoleh jatah sumbangan dengan istilah kuli kenceng dan kuli kendho. Mendapat perintah untuk menyediakan batu dan menelasah jalan. Jadilah gerakan padat karya yang tidak dibayar. Gugur gunung. Setiap warga dengan patuhnya melaksanakna instruksi Camat Jenggo tersebut. Mereka mencari batu dari kali, mengusungnya kemudian menelasah jengkal demi jengkal sesuai jatah kapling yang sudah ditetapkan. Gugur Gunung dan penuh keiklasan. Mereka dengan gembira melaksanakan instruksi itu. Bagi yang tidak mempunyai tenaga laki-laki banyak yang mengupah untuk menelasah.

Akhirnya terhubungklah akses transportasi yang cukup memadai. Jalan yang bengkok diluruskan, Kayu-kayu yang sekiranya mengganggu pelebaran jalan di tebang.Akhirnya ide lasahisasi itu berjalan dengan baik.


Ide camat jenggo itu tidak berhenti di sana saja. Banyak ide yang bagus namun juga banyak ide yang konyol. Ada lomba makan bakmi panas. Yang membawa kurban seorang meninggal karena terlalu antusias mendapatkan hadiah. Bakmi yang panas bergolak itu diseruputnya, akhirnya tenggorokannya terbakar, melepuh dan menjadikan infeksi yag mengakibatkan kematian.


Suatu saat dalam rangka memperingati 17 Agustus pak camat mau mengadakan kontes kecantikan. Dalam sebuah pertemuan ibu-ibu PKK ide itu dilontarkan. Kebetulan aku hadir di sana. Pada waktu ide itu dilontarkan ibu-ibu tidak ada yang berani menentang. Pada waktu itu malah sudah ditunjuk beberapa orang yang akan menjadi juri. Ketika menyinggung teknis penjuriannya aku usul. “Pak menurut pengetahuanku, untuk lomba kecantikan semacam itu, pesertanya harus dinilai sampai sedetail-detailnya. Kalau perlu harus memakai pakaian yang minim agar ketahuan bentuk dan ukuran vitalnya. Misalnya dada, pinggul dll harus diukur. Kalau harus buka-bukaan begitu siapa yang menjadi jurinya?”
Mendenar pertanyaan aku ibu-ibu PKK langsung menjerit. Secara aklamasi bareng-bareng meneriakkan “Tidak setujuuuuu!!” Akhirnya ide gila untuk mengadakan kontes ratu ayu itupun tidak jadi digelar.

Perjuangan memerangi kebodohan dan kemiskinan; Proses pendirian SMP Donoloyo. Oleh siapa dan kapan, bagaimana, dll....
Ini akan menjadi entri point terpenting dalam perjalanan hidup Bapak, ya... Pendidikan adalah dunia bapak... apa pandangan dan kiat-kiatnya.... kita tunggu saja


Dan masih banyak lagi cerita, tetapi tentu akan menyita perhatian, intinya perjuangannya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa patut diakui.

Dua generasi berikutnya adalah generasi kakak tertuaku yang juga seorang guru SMA hampir Wakil Kepala Sekolah, dan generasiku.

To be continue..

Copyright 2009 - H. Soeparno Hadimartono